Welcome to My Blog... Keluarga besar daus-arrafi.blogspot.com or cafebebas.net.tf mengucapkan Dirgahayu Republik Indonesia yang ke 67 tahun dan Selamat Hari Raya Idul Fitri 1433 H, Minal Aidin Wal Faidzin, Mohon Maaf Lahir dan Bathin.
Masukan Nama Penyanyi / Judul Lagu

Sabtu, 06 Agustus 2011

Berebut Wilayah Kekuasaan


Dahulu kala, konon segala binatang pandai bercakap-cakap seperti manusia. Ketika itulah hidup berjenis-jenis ketam di pantai Pulau Pertam. Suatu hari, berjalanlah Ugui mencari makanannya dan secara tidak disadarinya lewat di muka Ketam Buan. Kedua jenis ketam berbeda bentuk maupun rupanya. Ugui bertubuh kecil kerempeng, kakinya kecil tetapi panjang-panjang tungkainya sehingga jalannya amat cepat. Ketam Buan bertubuh kecil gempal, pendek-pendek ruas kakinya. Berbintik-bintik bulat kecil ke seluruh tubuhnya dan berjalan sangat lamban.

"Ceeer...kris-kras ceeeer......," Ugui berjalan cepat sekali, mengais-ngais makanan dengan sigap dan rajin. "Ceeeer.....kris-kras-kris-kras.....," ia pun makan dengan gembira tanpa memperhatikan kiri-kanan lagi.

"Hei, Ugui!" bentak Ketam Buan agak tersinggung, menggerutu dan iri hati melihat Ugui dengan mudah mendapatkan makanan di dekat dirinya itu. Dia sendiri belum mendapatkan rezeki sedikitpun kala itu. Karena hatinya menggerutu, Ketam Buan berkata lagi kepada Ugui, "Pongah sekali tindak tandukmu itu Ugui, lewat di muka kepalaku tanpa bertabik tidak pula bersalam. Bangsa apakah engkau? Tidak beradat sedikitpun, patutlah tubuhmu kerempengan tak hendak gemuk-gemuk juga walau habis makan sekeranjang. Kaki panjang seperti hantu laut bersetongkah. Hui... jelek, tidak punya adat. Cari makan dekat kediaman orang, itu pun pongah pula."

Ketam Buan memaki Ugui dengan sumpah serapahnya. Ugui tercengang mendengarnya. Ia pun memandang Ketam Buan seraya berkata, "Sekalipun tubuhku kerempeng, kecil-kecil kakiku, aku tak pernah menyusahkan orang. Aku sanggup hidup dengan caraku sendiri, tidak seperti engkau. Perut buncit, dungu, suka mengata-ngatai orang saja."

Ketam Buan membelalakkan matanya yang bulat besar, membentak-bentak Ugui dengan kasar, "Sudah pintar melawan aku ya, engkau sekarang Ugui? Sadar-sadarlah dirimu sedikit, karena engkau mencari makan masih ditempatku ini!"

"Hei Ketam Buan," jawab Ugui, "Bukankah lingkungan pantai Pertam ini milik kita bersama? Bangsa ketam mana pun bisa mencari makan disini! Bukan engkau sendiri yang punya, Buan!"

"Pergilah engkau Ugui, karena ulahmu di sini makanan kami jadi susut," bentak Ketam Buan,

Karena tidak tahan caci maki, Ugui pun menghindar agak jauh dari situ. Namun pada suatu hari bertemu lagi keduanya. Hari ini Ketam Buan datang berkawan-kawan sehingga Ugui terkepung. Karena merasa terjepit, Ugui memanfaatkan kaki panjangnya untuk menarik langkah seribu dan berlari cepat-cepat..  "Hiuuup...ah!" napasnya mendengus-dengus. Ia sedih sekali, "Kenapa aku ini sangat dibenci oleh Ketam Buan?" pikir Ugui dalam keadaan masgul.

Ketika itulah lewat burung Kedidi, terunggit-unggit di gigi air berpasir putih tempat Ugui termenung. Burung Kedidi pun menyapa Ugui, "Hai, sobat. Kenapa engkau kelihatan bersedih?"

"Kepalaku pusing," sahut Ugui. "Aku memikirkan keadaan kami yang sudah kacau balau. Tidak ada kecocokan masing-masing. Sementara penengahnya tidak ada. Ketam Buan tahunya marah-marah saja. Yah, karena kami lebih rajin daripada mereka, tentulah mendapatkan rezeki lebih banyak, bukan?"

Burung Kedidi yang arif bijaksana, menjelaskan, "Ehm, tahulah aku masalahnya. Kalian bangsa ketam rupanya selama ini tidak pernah dikunjungi Raja Ketam, karena itu kacau balau." Kata burung Kedidi lagi, "Kunasehati engkau sekarang, Ugui, sebaiknya engkau menghadap Raja Ketam Bangkang di hutan bakau sana. Ceritakanlah padanya, tentang perselisihan bangsa Ugui dengan Ketam Buan selama ini." 

Singkat ceritanya, menghadaplah Ugui ke hadapan Bangkang. Ia mengadukan nasibnya yang selalu dicaci-maki oleh ketam buan.

Setelah Raja Ketam itu mengetahui duduk perkaranya, dipanggillah Ketam Buan menghadap saat itu juga. Di hadapan Raja Ketam, Ketam Buan berdalih, "Ugui yang salah. Dia mengejek-ejek bangsa kami yang pemalas, bukan kami yang mengejek-ejek bangsa Ugui itu."

Untunglah saat itu juga datanglah burung Kedidi. Ia mau menjadi saksi, "Bukan Ugui punya ulah Tuanku. Tapi justru Ketam Buan sendiri yang selalu mengata-ngatai Ugui itu. Ketam Buan memang suka berbohong Tuanku."

Baginda Bangkang pun murka, "Nah... tahulah beta Bangkang Raja Ketam, bahwa kalian ini tidak boleh berada pada satu tempat lagi. Bangsa Ketam patut beta hukum!"

"Apa hukumannya Tuanku?" Ugui yang merasa tidak bersalah, memberanikan diri bertanya, 'Tolong Tuanku jelaskan, tentang hukuman buat kami bangsa ketam itu. Ampun... Tuanku."

Dengarkan oleh kalian semua! Mulai saat ini, beta larang bangsa Ketam Buan naik ke darat, dan tinggallah kalian di laut pasir yang dalam!"

"Ugui berjasa mengingatkan beta Raja Ketam. Engkau dibolehkan hidup di laut dan di darat sampai turun-temurun...hingga ke anak cucumu!" titah Bangkang, Raja Ketam.

Kono, sejak saat itulah Ugui hidup dalam dua alam, laut dan darat, sedangkan Ketam Buan tetap tinggal dalam laut selamanya.

Ugui adalah sejenis kepiting kaki panjang dan tangkas sekali bergerak di pasir pantai. Karena gerakannya yang gesit itu, minyak lemak Ugui menurut kepercayaan Orang Laut dijadikan minyak urut obat lumpuh. Juga dijadikan minyak urut kaki anak-anak lambat berjalan, supaya lebih kuat dan lekas dapat berjalan.

Referensi :
Rahimsyah. 2003. Kumpulan Cerita Rakyat Mancanegara. Surabaya: Kendsar Publisher.


0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes