Rancangan Undang-Undang Pendidikan Tinggi (PT) perlu dikaji ulang, karena secara substansial sama dengan Undang-undang Badan Hukum Pendidikan yang telah dibatalkan Mahkamah Konstitusi, kata Ketua Tim Ahli Pusat Studi Pancasila Universitas Gadjah Mada, Sutaryo.

"Jangan sampai Rancangan Undang-Undang (RUU) Pendidikan Tinggi (PT) hanya `ganti baju` dari UU Badan Hukum Pendidikan (BHP)," katanya di Pusat Studi Pancasila (PSP) Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Selasa.

Ia mengatakan RUU PT dengan kondisi saat ini ditakutkan hanya mendukung pasar global dan tidak spesifik memperbaiki kondisi pendidikan Indonesia. Oleh karena itu, RUU tersebut perlu dikaji ulang, dan PSP UGM sudah menyiapkan draf sandingannya.

"Keberadaan RUU PT saat ini banyak ditolak oleh perguruan tinggi swasta (PTS) maupun perguruan tinggi negeri (PTN) di Indonesia karena roh dan substansinya belum mampu mengaktualisasikan filosofi dan ideologi pendidikan Pancasila," katanya.

Dengan demikian, menurut dia, tidak menjadi masalah jika kemudian RUU PT tersebut terpaksa disahkan kemudian dilakukan "judicial review".

"Jadi, tidak masalah ditolak meskipun pembahasannya telah menghabiskan banyak anggaran, karena ada yang lebih penting dibandingkan besarnya anggaran yang telah dikeluarkan, yakni masa depan pendidikan kita," katanya.

Anggota Tim Ahli PSP UGM Sudjito mengatakan secara filosofis-ideologis RUU PT itu tampak belum mampu mengaktualisasikan roh filosofi dan ideologi pendidikan Pancasila. Roh itu seharusnya menjadi acuan nilai, tujuan, dan orientasi pendidikan tinggi yang diharapkan.

Secara yuridis, substansi RUU PT masih menyisakan masalah besar terkait dengan batas-batas substansi yang seharusnya diatur dalam RUU.

Para penyusun RUU PT juga terkesan kurang memperhatikan substansi yang seharusnya diatur dengan UU, Peraturan Pemerintah atau cukup dengan statuta. Seharusnya suatu UU cukup mengatur hal-hal mendasar yang merupakan penjabaran hak-hak konstitusional warga negara.

"Seharusnya ketentuan yang mengatur keunikan dan kekhasan perguruan tinggi sebenarnya cukup diatur dengan statuta, tidak perlu diatur dengan UU. Tumpang tindih hal-hal yang dimuat dalam RUU itu merupakan kelemahan mendasar yang perlu segera diperbaiki," katanya.

Menurut dia, secara sosiologis RUU PT itu menyimpan potensi besar untuk ditolak oleh masyarakat Indonesia. Hal itu terindikasi dari menguatnya kepentingan kelompok tertentu dan belum terakomodasinya kepentingan kelompok mayoritas masyarakat Indonesia.

"Jika pembahasan RUU itu diteruskan, diperkirakan akan semakin menambah daftar masalah hukum dan pendidikan di Indonesia," kata Guru Besar Fakultas Hukum UGM ini.(*)

(L.B015*H010/M008)